Senin, 31 Mei 2010

Perenungan
Sampai Olimpiade Meksiko pada 1968, cara yang biasa dilakukan oleh atlet lompat tinggi untuk meloncati palang rintangan adalah dengan menyejajarkan badan dengan palang tersebut, yaitu teknik yang disebut Western Roll. Namun cara itu tidak lama kemudian berubah.
Seorang atlet tidak terkenal mendekati palang rintangan, yang sedang dipasang pada ketinggian rekor dunia setinggi 7 feet 41/4 inci. Dia melompat, tetapi bukannya menghadapkan badanya ke palang, dia justru membalikkan badannya, membelakangi palang.
Ia mengangkat kakinya dan melompati palang dengan membelakanginya. Namanya Dick Fosbury, dan metode lompatannya kemudian terkenal sebagai Fosbury Flop. Metodenya masih dipakai hingga sekarang.Ia melompat jauh lebih tinggi daripada siapapun sebelumnya, dengan berpikir secara berlawanan dari orang-orang lain (Paul Arden, 2006)
Perbedaan, berlawanan, berseberangan memang menjadi bagian kehidupan. Berpikir berlawanan tidak selalu buruk (Perenungan pertama)
Di penghujung bulan Mei banyak peristiwa yang pantas dikenang, baik itu bulan Mei 4 tahun yang lalu saat terjadi gempa bumi. Mei 3 tahun dan Mei 2 tahun yang lalu dan Mei tahun ini. Selalu ada penghiburan, selalu ada anugerah dan selalu ada pengharapan (Perenungan ke dua)
Ketika merenungkan banyak hal yang telah saya lakukan, ada hal-hal yang akan disesali. Saya mengambil keputusan yang salah.
Salah.
Saya telah mengambil keputusan yang benar.
Hidup adalah tentang mengambil keputusan.
Apakah saya akan memiliki rumah yang kecil sederhana atau rumah yang besar dan rumit?
Apakah saya seharusnya kuliah atau bekerja?
Apakah saya akan minum teh, kopi atau air putih?
Apapun keputusan yang saya ambil, itulah satu-satunya keputusan yang dapat saya ambil. Jika tidak saya akan mengambil keputusan yang lain.
Apapun yang kita lakukan, kitalah yang memilih.
Jadi apa yang harus disesali (Perenungan ke tiga)

Minggu, 30 Mei 2010

STRATEGI PENGEMBANGAN SEKTOR PARIWISATA
” Kulon Progo – Jogja Sesungguhnya”
Oleh : Y. Irianta


Kabupaten Kulon Progo mempunyai beberapa potensi obyek wisata yang perlu dikaji secara mendalam untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Di sisi lain, pengamatan selintas menunjukan bahwa kondisi sosial budaya penduduk Kabupaten Kulon Progo belum siap menerima perubahan yang ditimbulkan oleh kemajuan di bidang pariwisata, karena persepsi masyarakat masih negatif terhadap bisnis atau industri jasa pariwisata. Padahal perkembangan di bidang pariwisata tidak dapat lepas dari jasa hiburan yang mempunyai daya tari khusus. Problema pariwisata yang terkemuka sesungguhnya terjadi mulai dari awal hingga akhir, sebagai suatu mata rantai nilai yang ingin dicapai oleh para pelaku dalam dunia pariwisata yaitu:
• Bagaimana suatu informasi periwisata dikemas untuk disebar ke pasar
• Bagimana biro jasa travel memberikan pelayanan
• Bagaimana sarana serta prasarana transportasi (jalan, lapangan udara atau pelabuhan laut) menuju daerah atau tujuan wisata
• Bagaimana akomodasi serta mutu makanan yang ada
• Bagaimana kualitas sarana dan pelayanan hotel atau penginapan
Bagaimana pelaku yang lain menjual produk serta kualitas pelayanan seperti tempat rekreasi, tempat hiburan (bar, café) serta pedagang atau toko souvenir. Sektor pariwisata dapat menjadi seKtor unggulan dalam pergerakan perekonomian daerah jika dikelola, diprogram, dan direncanakan secara matang, jitu dan komprehensif. Keunggulan letak geografis yang dimiliki Kabupaten Kulon Progo dapat menjadi nilai tambah tersendiri bagi pengembangan sektor wisata. Letak geografis yang berbatasan dengan beberapa Kabupaten lain yang memiliki obyek wisata menarik seperti pantai Selatan, yang memiliki akses transportasi memadai merupakan modal bagi Kabupaten Kulon Progo untuk mengembangkan sektor pariwisata.
Pengembangan pariwisata Kulon Progo sama dengan memasarkan Kulon Progo, memasarkan tempat-tempat ( places ) yang menjadi unggulan wisata Kulon Progo, memasarkan budaya, memasarkan kehidupan asli dan tradisi Kulon Progo. Konsep makalah ini memberikan pandangan, tindak lanjut bagi Pemerintah Kulon Progo yang menginginkan perkembangan pemasaran pariwisata ( tourism marketing ) di masa mendatang, sebuah kesempatan untuk mengelola potensi alam dan budaya, mengarahkan perubahan – perubahan serta memanfaatkan momentum yang terjadi di Kulon Progo, dan di Yogyakarta, di di Indonesia bahkan dalam lingkup dunia. Memasarkan Kulon Progo sejak saat ini harus menjadi tema sentral yang harus diagendakan oleh pemimpin pemerintahan ( baik eksekutif maupun legislatif), politisi (yang jalanan maupun yang di DPRD), pebisnis dan masyarakat di Kulon Progo, dari Panjatan hingga Samigaluh, dari Nanggulan hingga Girimulyo, bahkan yang tinggal di luar Kulon Progo. Ketertinggalan Kabupaten Kulon Progo harus memberikan semangat untuk melakukan lompatan besar untuk mengejar ( dengan pijakan yang kuat dan handal tentu saja ! )
Konsep analisa yang akan digunakan sebagai alat analisis ( tool of analysis ) adalah dengan menggunakan tingkatan Marketings, yang ada pada buku Marketing Asian Places dari Philip Kotler dkk. Menurut Kotler dkk ( 2000 ), ada 3 tingkatan atau siklus dalam marketing places, yaitu : Planning Group, Marketing factor dan Target Markets. Analisis akan diawali dari tingkatan paling dalam kemudian keluar, bahwa Planning Group ( siklus paling dalam ) merupakan tingkatan dasar yang menjadi prioritas dan harus segera diciptakan dan dibenahi lebih awal, baru kemudian Marketing factor dan akhirnya Target Markets. Tetapi konteks berpikir secara konseptual antara ketiganya saling berhubungan dan saling terkait.

Planning Group, ada 3 pelaku yang saling berinteraksi, yaitu : Citizens, Bussiness Comunity dan Local Government. Posisi kunci ada pada pemerintah daerah (local government) karena fungsi yang diembannya, yaitu :
a. Melindungi dan mesejahterakan masyarakat secara demokratis.
b. Demokratisasi dan pendidikan politik.
c. Mendekatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan efisiensi serta efektifitas pelayanan masyarakat.
d. Meningkatkan partisipasi masyarakat.
e. Memberdayakan potensi dan keanekaragaman daerah.
Ada tiga hal yang menjadi perhatian dalam hal ini, yaitu : mesejahterakan masyarakat, partisipasi masyarakat dan memberdayakan potensi dan keanekaragaman daerah. Pada planning group, penggarapan ditekankan pada :
1. Places, tempat-tempat wisata unggulan Kulo Progo.
2. Marketing Plan, rencana marketing.
3. Diagnosis
4. Visi
5. Aksi
Salah satu potensi Kulon Progo adalah keindahan alam, beraneka ragam obyek dan daya tarik wisata yang meliputi pantai, pegunungan, goa, waduk, dan pemandian. Obyek wisata dan jalur yang dapat memperlihatkan keindahan alam pegunungan, budaya masyarakat, keseinian tradisional dan makanan khas Kulon Progo.
b. Sarana jalan dan transportasi
Perencanaan sarana jalan untuk menuju tempat-tempat tujuan wisata di Kulon Progo, memungkinkan dijadikan satu dengan paket wisata, diperhitungkan jalan setapak dan keunggulan pemandangan alam di pegunungan. Merencanakan transportasi umum yang efektif untuk menumbuhkan pariwisata sekaligus perekonomian Kulon Progo
c. Telekomunikasi
Komunikasi sangat menentukan hubungan dan cara membuka akses tempat wisata dengan dunia luas. Perluasan jaringan telepon baik oleh pemerintah maupun swasta.
d. Jaringan Informasi dan Komunikasi
Akses informasi melalui sistem informasi yang ada dengan menggunakan media internet.

4. People
Aparat pemerintah menempatkan diri pada peran mengendalikan dan mengarahkan (steering ) mengurangi bahkan meniadakan pemerintah sebagai pelaku, sedangkan swasta / bisnis dan masyarakat yang lebih kongkrit berperan sebagai pelaku (rowing).
1. Pemberdayaan pelaku wisata
2. Ketrampilan - kerajinan
3. Pinjaman modal usaha
4. Pembinaan budaya

Target Markets, menentukan target market, yang kemungkinan bisa dicapai secara bertahap. Menurut Kotler dkk, target market yang ada adalah :
1. Exporters
2. Investors
3. Manufactures
4. Corporate Headquarters
5. New Residents
6. Tourism, Conventioneers and Hospitals

Dengan memperhatikan potensi dan kelemahan yang ada saat ini, ditentukan target market pengembangan pariwisata, diawali sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 (sesuai dengan RPJMD Kulon Progo)


Stategi menciptakan branded : ” Kulon Progo – Jogja Sesungguhnya” tidaklah hanya dilaksanakan dengan separuh nafas, atau hanya sekedar hangat-hangat tahi ayam - tetapi harus selalu didiskusikan terus-menerus, setelah diperoleh kajian dan pemahaman yang sama oleh berbagai pihak yang terlibat. Maka harus dengan kekuatan penuh memanfaatkan momentum yang ada di depan mata saat ini. Pukul keras-keras, atau akan tertinggal sama sekali dan energi yang dikeluarkan untuk menunggu selama ini akan terbuang sia-sia.
Model Kasus

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanganan : Banjir, Tanah Longsor
dan Gempa Bumi

oleh :
Yohanes Irianta *)


Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia dibentuk antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Berdasarkan pokok pikiran tersebut maka :
a. Upaya penanggulangan bencana merupakan salah satu wujud dari upaya untuk melindungi segenap bangsa Indonesiadan seluruh tumpah darah Indonesia.
b. Upaya penanggulangan bencana dititik beratkan pada tahap sebelum terjadinya bencana yang meliputi kegiatan pencegahan, penjinakkan / mitigasi dan kesiapsiagaan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
c. Sesuai dengan skala bencana yang terjadi, penanggulangan bencana dilandasi kemampuan kewilayahan secara berjenjang.

Sangat relevan memperhatikan fungsi perlindungan masyarakat yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah, terlebih pada era otonomi daerah dan dengan adanya good governance, pemerintah daerah dituntut semakin baik dalam melaksanakan fungsi yang diembannya, yaitu :
a. Melindungi dan mesejahterakan masyarakat secara demokratis.
b. Demokratisasi dan pendidikan politik.
c. Mendekatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan efisiensi serta efektifitas pelayanan masyarakat.
d. Meningkatkan partisipasi masyarakat.
e. Memberdayakan potensi dan keanekaragaman daerah.

Keprihatinan akan kita rasakan apabila melihat adanya fenomena berdasarkan pengalaman dan keadaan yang dijumpai pada generasi sekarang :
1. Adanya sikap ignorant; Kita seperti tidak peduli walaupun hidup di wilayah rawan bencana (pertemuan tiga lempeng tektonik, gempa bumi, gunung berapi, tanah longsor, kerentanan tropis, dsb).
2. Sikap lapar tanah, konversi alam terus terjadi (mangrove, ekosistem pantai, terumbu karang, hutan) untuk permukiman, lahan usaha, infrastruktur, sehingga daya dukung lingkungan dan natural protection berkurang.
3. Tata ruang tidak antisipatif terhadap kemungkinan bencana.

Memperhatikan fenomena di atas, sebelum menjadi lebih parah atau timbul korban bencana yang lebih besar harus ada tindakan kongkrit oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Penanganan bencana memang menjadi kewajiban pemerintah, hal ini diwujudkan dengan :
1. Memasukkan aspek kebencanaan dalam strategi kebijakan pemerintah ( sekarang : RPJMD ).
2. Menciptakan regulasi yang mendukung penanganan bencana : Tata Ruang, Satlak, Protap bencana, dukungan anggaran, dsb
3. Penanggulangan bencana dilandasi kemampuan kewilayahan secara berjenjang – yang lebih dekat dengan lokasi bencana. Menyediakan stok beras, perlengkapan dapur umum dan tenda pada Unit Operasi PB Kecamatan.

Kewajiban pemerintah itu akan lebih baik apabila didukung oleh peran serta masyarakat. Peran serta atau partisipasi (participation) memerlukan beberapa persyaratan : 1). Masyarakat sudah berdaya. 2). Adanya kesadaran positif untuk berperan dalam penanganan bencana. Peran pemerintah dalam penanganan bencana yang utama adalah memberdayakan masyarakat (empowering society), karena penanggulangan bencana dititik beratkan pada tahap sebelum terjadinya bencana yang meliputi kegiatan pencegahan, penjinakkan / mitigasi dan kesiapsiagaan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Memberdayakan masyarakat dan menumbuhkan sikap peduli pada aspek kebencanaan dapat dilakukan dilakukan dengan :
1. Memberi pengetahuan tentang seluk beluk kebencanaan yang didasarkan pada keunikan wilayah dan tipe bencana alam yang ada;
2. Mengembangkan kurikulum lokal sebagai media sosialisasi penanggulangan bencana alam, dalam bentuk suplemen buku ajar bagi pelajar ( sejak usia dini );
3. Memberikan keterampilan kepada masyarakat dalam mengantisipasi, menghindari dan menyelamatkan diri dari bencana;
4. Menumbuhkan sikap waspada, responsip dan tanggap terhadap bencana.

Peran serta masyarakat dalam penanganan bencana meliputi seluruh siklus penanganan bencana, yaitu : 1. Kesiapsiagaan; 2). Tanggap Darurat; 3). Pasca Darurat; dan 4) Pencegahan dan Mitigasi, begitu seterusnya.




Upaya untuk menumbuhkan peran serta masyarakat dalam penanganan bencana, memerlukan beberapa prasyarat :
1. Adanya tokoh penggerak (aktivis atau tokoh RT/ RW setempat),
2. Konsep yang jelas dan obyek aktivitas yang jelas,
3. Kohesivitas masyarakat setempat,
4. Bahasa rakyat yangg tepat berbasis kearifan budaya setempat,
5. Jaringan informasi yg mudah diakses setiap saat.
Peran serta masyarakat juga memperhatikan karakteristik bencana yang ada, beberapa indikator antara lain : Penyebab bencana, waktu yang memungkinkan peringatan dini (early warning system ); dan prediksi lokasi bencana. ( Lihat Matriks Peran Serta Masyarakat Menurut Karakteristik Bencana ). Pada saat tahap tanggap darurat dan tahap pasca darurat ( rehabilitasi dan rekonstruksi) peran serta masyarakat sangat mutlak diperlukan. Dengan peran serta masyarakat dapat mengurangi beban korban.

Pada kondisi normal sebelum terjadi bencana dapat dilihat dari kondisi DIY sebelum gempa :
1. Suasana aman tenteram dan damai, beberapa bencana seperti tanah longsor, banjir dan letusan gunung dianggap tidak mengkhawatirkan.
2. Masyarakat tidak siap menghadapi bencana yang bersifat mendadak.
3. Satuan penanganan bencana ( SATKORLAK PBP Provinsi DIY dan SATLAK PBP Kabupaten/Kota) tidak melakukan pelatihan, simulasi dan drill bencana.
4. Bencana yang terjadi di tempat lain ( Aceh, Nabire dsb ) sekedar sebagai informasi
5. Bencana gempa bumi dengan skala besar terakhir yang terjadi di DIY pada tahun 1940 dan tidak ada catatan yang mengingatkan kepada generasi sekarang.

Ketidaksiapan masyarakat DIY menghadapi bencana yang bersifat mendadak mengakibatkan korban gempa di DIY sangat besar ( lebih 5.000 orang meninggal dan puluhan ribu luka berat ). Beberapa alasan untuk menjelaskan adalah :
1. Gempa bumi menimpa wilayah dengan kepadatan penduduk sangat tinggi / lebih dari 1.500 orang/km2.
2. Kelalaian untuk membangun rumah tahan gempa dan rendahnya kesadaran terhadap penerapan standar bangunan yang aman.
3. Home industri di wilayah pemukiman. Bangunan toko, bengkel, rumah, gudang menjadi satu sehingga secara bersama-sama rusak karena gempa.
4. Sistem penanganan bencana tidak siap. Walapun SATKORLAK PBP dan SATLAK PBP telah disiagakan untuk bencana letusan gunung Merapi tetapi tidak siap untuk menangani dampak gempa yang sangat besar.
Rumah sakit tidak mampu menampung jumlah korban ( luka dan meninggal) dalam jumlah yang sangat banyak.
Petugas pemerintah tidak pernah dilatih untuk menangani kondisi darurat yang sedemikian besar atau sebagian besar petugas pemrintah juga menjadi korban gempa.
5. Tidak siapnya masyarakat tehadap kemungkinan terjadinya bencana.
Masyarakat tidak pernah diingatkan mengenai kemungkinan terjadinya gempa bumi yang tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi
Tidak ada petunjuk atau pedoman yang disediakan bagi masyarakat mengenai tata cara – prosedur penanganan atau respon terhadap gempa.

Pada saat tanggap darurat situasi sangat kacau masyarakat dengan segala kemampuannya mencoba menangani korban, inisiatif individu sangat berperan. Baik dari membawa korban ke Rumah Sakit, sampai menguburkan sendiri keluarga yang meninggal. Suasana sangat panik karena ada isu terjadi tsunami dan mencekam karena ada isu tengah malam ada gema yang lebih besar. Hampir seluruh penduduk tidur di luar rumah dengan tenda-tenda sederhana. Rumah sakit over-loaded sampai dihalaman dan trotoar jalan. Pemerintah daerah tidak berjalan, ekonomi lumpuh dan tidak tersedia logistik maupun jaringan distribusinya. Pada saat itu masyarakat tidak tahu apa yang harus dikerjakan, baru dalam 2-3 hari mulai mengorganisir penanganan di komunitasnya. Komuitas yang paling efektif adalah setingkat RT, bersama tokoh masyarakat secara spontan membangun posko dan meminta bantuan untuk warga masing-masing, terutama kebutuhan permakanan.

Belajar dari pengalaman kejadian bencana gempa yang terjadi di DIY berkaitan dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam penanganan bencana, bebrapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Masyarakat belum mendapatkan pengetahuan dan informasi kesiapsiagaan yang cukup terhadap kemungkinan terjadinya bencana.
Diperlukan sosialisasi penanganan bencana berbasis masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan LSM.
Perlu penyuluhan dan pendidikan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
Perlu pemetaan daerah rawan bencana dan sosialisasinya kepada masyarakat.
2. Banyaknya relawan yang terlibat dalam penanganan bencana dan terjun langsung ke masyarakat sering mengakibatkan tumpang tindihnya penanganan di lapangan.
Mewajibkan setiap organisasi relawan, LSM nasional maupun internasional unuk mendaftar dan melaporkan keberadaanya kepada SATLAK PBP setempat. Perlu pengaturan relawan, LSM nasional maupun internasional dalam keterlibatan penanganan bencana dan melaporkan hasil kegiatan.
3. Kurangnya kemampuan SDM dalam melakukan kaji cepat (Rapid Assessment) di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan tingkat RT. Sehingga data yang diperoleh akurat dan tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat.

Peran serta masyarakat dalam penanganan bencana perlu ditumbuhkan sejalan dengan era globalisasi dan keterbukaan, dengan cara memberdayakan masyarakat dan konsep kebijakan serta regulasi yang jelas.
Penataan Organisasi Perangkat Daerah versus APBD :
Strategi Bertahan dan Bertahap !

Oleh
Yohanes Irianta
IRIANTA yogyakarta.blogspot.com


Sepertinya sudah menjadi wacana bahwa kebijakan pelaksanaan Perda organisasi perangkat daerah akan diberlakukan pada tahun 2009 bersamaan dengan awal pelaksanaan APBD, hal yang cukup logis karena pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan tahun 2008 oleh SKPD yang lama sampai pada 31 Desember 2008. Beberapa kegiatan yang telah dipersiapkan antara lain : Penyusunan uraian tugas organisasi perangkat daerah, penyusunan analisis kebutuhan pegawai, pembuatan rencana kegiatan anggaran, penyusunan RAPBD tahun 2009 dan penataan sarana/prasarana SKPD baru. Sesuatu hal yang sangat penting dan sering menjadi pembicaraan hangat di lingkungan pemerintah daerah adalah menata dan menyiapkan SDM untuk mengisi formasi yang ada, baik Jabatan Fungsional Umum (Staf) maupun Jabatan Struktural. Penyusunan anggaran tahun 2009 sudah mempergunakan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang baru, analogi yang sama dipergunakan seperti pada saat pembentukan organisasi perangkat daerah didasarkan pada urusan-urusan yang diampu.

Esensi pembentukan organisasi dan tatakerja perangkat daerah berorientasi kepada kebutuhan masyarakat (citizen-oriented), efisien, efektif dan optimal mengampu urusan – urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan serta mewujudkan visi, misi dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dalam kurun waktu sampai tahun 2011. Perubahan dan perkembangan Kulon Progo ke depan harus diantisipasi secara positif oleh perangkat daerah, beberapa hal bisa menjadi leverage bagi Kulon Progo untuk melompat dan berlari mengejar ketertinggalannya dengan kabupaten lain. Seperti adanya kepastian telah ditandatanganinya kontrak karya penambangan dan pengolahan pasir besi antara Menteri ESDM Purnomo Yusgiatoro mewakili pemerintah dengan PT. Jogja Magasa Iron (JMI) ( KR Rabu, 5 November 2008), adanya perubahan status desa Wates menjadi kelurahan Wates, akan adanya pangkalan armada AL, akan adanya pelabuhan udara.

Berkaitan dengan pemberlakuan organisasi perangkat daerah, salah satu yang perlu disiapkan sungguh-sungguh adalah penataan personil, baik jabatan fungsional umum maupun pejabat struktural. Wacana kebijakan yang akan dilaksanakan pada penataan JFU adalah dengan menggunakan sistem ”boyongan” yaitu penataan pegawai berdasarkan sejarah pembentukan organisasi perangkat daerah, pegawai pada instansi yang mengampu ketugasan lama ditempatkan pada instansi yang mengampu tugas (tepatnya : urusan) yang sama sekarang. Walaupun itu sifatnya kebijakan umum, tentu saja tidak diterapkan pada seluruh SKPD, masih ada pertimbangan lain seperti hasil analisis kebutuhan pegawai dan analisa internal BKD dengan memasukkan unsur kompetensi pegawai. Analisa berdasarkan ”bank data kepegawaian” yang dimiliki BKD akan menghasilkan penataan pegawai yang mendekati ”tepat”, baik kuantitas maupun kualitas. Tentu akan memuaskan harapan semua pihak. Kalaupun tidak puas, mereka paling hanya bisa diam.

Berbeda dengan penataan jabatan struktural, pada OPD baru, terdapat 720 jabatan struktural : Eselon I a, sebanyak 1 orang; eselon II b sebanyak 26 orang; eselon III a sebanyak 58 orang; eselon III b sebanyak 75 oang; eselon IV a sebanyak 380 orang; eselon IV b sebanyak 95 orang dan eselon V a sebanyak 85 orang. Grafik jabatan struktural seperti yang terlihat pada Gambar 1. Melihat dari hitungan jumlah, secara sepintas memberikan ”angin segar’, hampir dipastikan tidak ada yang akan ”lepas jabatan” karena ada pertambahan sebanyak 241 jabatan struktural. Nanti akan ada sebanyak 35 pejabat eselon III a ”turun kelas” menjadi pejabat eselon III b, tetapi jangan khawatir karena tunjangannya tetap eselon III a.

Gambar 1.
Frekuensi Jabatan Struktural














Realitas sekarang yang dihadapi untuk tahun 2009, adanya keterbatasan dana atau budget constrains, bahwa perkiraan pertambahan DAU untuk kabupaten Kulon Progo tidak seperti yang diprediksikan, hanya bertambah 2,5 % dari prediksi 10 %. Beberapa analisa, DAU tidak sesuai prediksi karena adanya pemekaran kabupaten/kota, atau mungkin juga karena porsi uang yang dibagi antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berubah sejalan dengan penerapan urusan-urusan sesuai PP 38/2007, dengan adanya urusan-urusan yang bersifat konkuren yang dilaksanakan ketiganya, porsi untuk kabupaten/kota hanya tinggal sisa-sisa dari pemerintah dan pemerintah provinsi. Dapat dipahami bahwa fenomena penurunan DAU tidak hanya terjadi di Kulon Progo tetapi juga di kabupaten lain. Keadaan ini memaksa pemerintah kabupaten untuk menata ulang Kebijakan Umum Anggaran (KUA) beserta Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang telah dibuat.

Membandingkan kebutuhan penataan pegawai dengan realita anggaran yang ada, sepantasnya harus dilakukan penyesuaian, dilakukan kajian : Jabatan struktural mana yang menjadi prioritas diisi ? Diinventarisir baik eselon II sampai eselon V a. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan antara lain : Sejarah pembentukan kelembagaan dan rangking urusan yang diampu SKPD untuk mendukung pencapaian misi dan visi Kulon Progo sampai tahun 2011. SKPD yang mengampu pencapaian atau peningkatan indeks kualitas hidup manusia atau kongkritnya pendekatan hak-hak dasar yang relevan dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi di Kabupaten Kulon Progo, juga memberikan penegasan pentingnya pelaksanaan otonomi daerah sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin. Indikator pemenuhan hak-hak dasar antara lain : 1) hak atas pangan, 2) hak atas kesehatan, 3) hak atas pendidikan, 4) hak atas pekerjaan, 5) hak atas air bersih, 6) hak atas perumahan, 7) hak atas tanah, 8) hak atas sumber daya dan lingkungan hidup, 9) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Apabila menggunakan analisis SWOT, maka organisasi perangkat daerah yang mengampu urusan sebagai kekuatan akan dihadapkan pada keterbatasan dana (budget constrains) sebagai kelemahan. Berkaitan dengan penataan jabatan struktural strategi yang mungkin terpaksa diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, hanyalah : Bertahan ! dan Bertahap. Kalau dianalogkan dengan ”tinju’ selama 3 ronde, maka pada ronde 1 yang bisa dilakukan adalah : Menghindari pukulan, membuat pertahanan ”double cover”, memukul secara sporadis untuk menghemat tenaga......dan berputar-putar menunggu bel berdering......pokoknya asal tidak KO di ronde 1 saja. Kemudian secara bertahap pada ronde ke-2 dan ke-3 melancarkan pukulan-pukulan, tergantung kondisi kekuatan dan peluang nantinya. Analog dengan hal itu, pengisian pejabat struktural pada tahun 2009, jumlahnya paling tidak sama dengan jumlah jabatan struktural pada tahun 2008 yaitu sebanyak 479 orang atau 66 %, kemudian pada tahun 2010 sebanyak 599 pejabat struktural atau 86 % dan pada tahun 2011 baru dapat diisi 100 %. Ini hanya gambaran sekilas, mengenai perhitungan akuratnya, bisa dianalisa lebih jauh.

Kita juga perlu berharap dan berupaya pada tahun 2010 keadaan anggaran sudah cukup kondusif sehingga bukan hanya penataan jabatan sruktural saja yang menjadi prioritas tetapi sudah berpikir pada SDM Kulon Progo secara keseluruhan, baik kuantitas dan kualitas yang memang mendesak harus dibenahi. SDM yang benar-benar siap menjawab tantangan dan perkembangan Kulon Progo. Itulah optimisme yang pantas ditanamkan pada setiap aparat di Kulon Progo.